Sabtu, 20 Agustus 2016

Hijrah



Salah satu hal menarik ketika mempunyai teman baru (yang sama-sama telah berhijrah) adalah berbagi cerita. Entah itu cerita pengalaman, aktivitas, hobi atau cerita perjalanan hijrah.

Sekitar satu minggu yang lalu, dia memintaku untuk menceritakan kisah hijrahku. Namun, karena waktu itu moodku sedang tidak stabil, akhirnya baru kemarin aku bersedia untuk menceritakannya.

Ya, postingan kali ini adalah tentang cerita hijrah kami, aku dan teman baruku. Tulisan di bawah adalah salinan percakapan kami. Aku harap ada hal positif yang bisa diambil dari kisah kami.



Cerita hijrah ana baru dimulai tahun lalu, Ukh. Masih seumur jagung. Dan ana masih merasa anak baru kemarin sore dalam urusan agama. Satu hal mendasar yang ana perbaiki terlebih dahulu waktu itu adalah hubungan dengan lawan jenis. Lebih tepatnya kalau bahasa anak jaman sekarang 'Pacaran'. Ya, dulu ana pernah pacaran. Pacaran syari katanya. Namun, saat akhir 2014, ana merasa seperti ada yang salah dengan diri ini. Padahal hidup ana sedang berada di zona nyaman, tidak merasa ada teguran dari Allah. Setiap kali ana bertemu dengan pacar ana, ana merasa ada yang aneh. Tiba-tiba ana menjadi orang yang sangat pemikir, ana selalu bertanya-tanya sendiri. Bukankah pacaran itu dosa?! Ajaran siapa ini? Jangankan pacaran, bahkan saling bertatap mata terhadap yang bukan muhrim pun bisa menjadi dosa. Sebenarnya ana tahu hukum-hukumnya, tapi kenapa masih melanggar? Yassalam..
Hati dan pikiran ana sangat berkecamuk kala itu. Akhirnya setelah mencari ilmu lebih dalam mengenai haramnya berpacaran dan batasan2 dalam pergaulan, ana memantapkan hati. Awal 2015, ana memutuskan pacar ana. Waktu itu niatnya benar-benar lillahi taala. Ndak peduli apa yang dirasa, apa kata orang, apa akibatnya. Ana ingin hijrah. Dosa ana sudah terlalu banyak. Ana tidak ingin melakukan dosa dengan sadar. Ana ingin berusaha mematuhi perintahNya dan menjauhi segala laranganNya.

Memasuki pertengahan tahun 2015, ana baru memperbaiki penampilan, Ukh. Ana berusaha mengistiqomahkan hijab dan gamis. Sebelumnya, ana memang berhijab. Tapi kadang saat kerja masih pakai celana. Hijab masih yang modis. Kadang malah pakai tutorial, lilit sana lilit sini. Kalau dirumah ada non muhrim, kadang ana tidak memakai hijab. Hijab itu baru sekitar 85 persen, Ukh.

Setelah beberapa bulan mengistiqomahkan hijab, ana baru memakai hijab syari. Ndak tahu kenapa, lama-lama kalau pakai hijab yang pendek rasanya malu. Mungkin itu bagian dari hidayah. Ya, hidayahNya datang lagi.

In syaa Allah ana tidak hanya berhijrah penampilan, tapi juga akhlak. Ana terus berusaha menambah ilmu-ilmu agama dan memperbaiki diri dari segala sapeknya.

Waktu itu ana bekerja di Lembaga Keuangan Syariah, Ukh. Akhir 2015 ana memutuskan resign. Kenapa? Karena ana takut jika pekerjaan yang ana lakukan mengandung unsur riba. Memang sih judulnya Syariah, tapi ana sebagai orang yang bekerja di dalamnya tahu betul apakah konsep syariah tersebut sudah benar-benar diterapkan atau belum. Dan menurut ana belum. Ada perbedaan pendapat dalam urusan ini. Tapi ana pernah membaca sebuah hadits, yang katanya apabila terdapat sesuatu yang syubhat (halal atau haramnya belum jelas) maka lebih baik ditinggalkan. Bismillah.. Lagi-lagi niat ana lillahi taala. Ana tidak ingin bekerja yang seharusnya bernilai ibadah, malah menjadi sebab siksa ana di akhirat. Na'udzubilah.
Ana percaya, ketika kita meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.Awalnya orang tua tidak setuju dengan keputusan ana, karena memang secara gaji sudah lebih dari cukup, dan secara jabatan pun ana nyaman. Namun saat ana jelaskan alasan-alasannya, alhamdulillah mereka mengizinkan.

Sampai akhirnya di awal tahun 2016, hati ana terketuk untuk mencoba memakai hijab yang sebesar ini (hijab+cadar). Itu karena ana selalu kagum ketika melihat mereka yang menjulurkan hijab ke seluruh tubuh serta menutup wajahnya dengan cadar. Setelah mencoba memakainya, rasanya maa syaa Allah banget, nyaman ! Ana semakin penasaran dengan segala hal yang berbau Sunnah. Ana pun mulai mempelajarinya. Dari situ ana benar-benar menyadari, betapa syariat Islam itu sebenarnya mudah dan membawa kedamaian bagi yang menjalankan.
Ketika ana berusaha semakin mendekat kepadaNya, alhamdulillah Dia mempertemukan ana dengan sahabat-sahabat yang searah, sepemikiran. Yang mereka juga ingin bercadar secara istiqomah (ada pula beberapa yang sudah istiqomah). Saat ana merantau ke Bekasi-Jakarta, ana bisa dengan leluasa memakai cadar, sehingga ana merasa betah tinggal disana. Tapi ketika di kampung, cadar ana hanya terlipat di lemari, Ukh. Sedih.

Selepas ana memutuskan berhijrah, alhamdulillah cukup banyak ikhwan yang mengajak taaruf, bahkan mengajak nikah. Tapi sampai sekarang belum ada yang cocok, Ukh. Sepertinya Allah ingin ana menuntut ilmu sebanyak-banyaknya dulu.

Ana tidak memasang gambar-gambar wajah di media sosial juga masih baru-baru ini. Baru beberapa bulan yang lalu. Ternyata godaannya sangat berat, sampai sekarang ana masih belajar. Selain karena ana tahu hal itu cenderung dilarang agama, itu juga karena, kalau bertemu ikhwan, lalu si ikhwan memandang dan memperhatikan ana, rasanya malu. Apalagi kalau gambar-gambar wajah ana dilihat oleh banyak orang, malu sangaat. Ana tidak ingin mereka berteman dengan ana karena sebab rupa. Dan yang lebih ditakutkan, ana tidak ingin calon jodoh ana memiliki kecenderungan hati hanya karena rupa. Karena sejatinya wajah dan segala yang kita miliki ini hanyalah titipan. Bukankah kita hidup di dunia hanya sebentar saja?!

Seperti itu Ukh, cerita singkatnya.
Mohon doanya semoga istiqomah dan ilmu ana kian bertambah ☺



Maa syaa Allah, barakallah fiik Ukhti..

Awal hijrah ana akhir tahun 2013, Ukh. Hijrah yang benar-benar hijrah. Waktu itu ana masih semester 2 di bangku kuliah. Ana tamatan pesantren, ana tahu ilmu tentang hijab, pacaran, dan lain-lain. Tapi ana masih acuh akan ilmu ana. Bahkan, ana meninggalkan hijab syar'i ana ke hijab yang lebih modern dengan seabrek tutorial, pakai jelana jeans dan tabarruj lagi.Ana pacaran, ana jarang banget mengikuti kajian, ana terlanjur terjerumus diruang lingkup yang melenakan dan teman-teman yang tidak paham agama.Sampai pada akhirnya hati ana gelisah, pikiran kacau. Kalau bahasa gaulnya "galau berat". Hehe. Ana putuskan pacar ana, tapi hati ana masih gelisah, ana ingin berubah tapi susah, karena ruang lingkup ana itu tidak mendukung.

Sampai akhirnya ana mencoba mencari cara agar ana kembali ke jalan yang benar, kembali pada tujuan hidup yang sesungguhnya. Ana putuskan untuk berhenti kuliah. Karena pada saat itu, jika ana tetap kuliah kemungkinan untuk berubah itu tidak ada. Kemudian ana mengiuti kursus selama satu tahun. Ana kembali lagi mengenakan hijab syar'i dan bergaul dengan teman-teman baru yang lebih baik tentunya.

Setelah ana selesai kursus, ana pulang kampung, dan menganggur sekitar 4 bulan. Ana mau kerja, tapi tidak tahu kerja apa. Akhirnya ana main ke kampung halaman ana di Medan. Ana yakin bahwa sholat duha itu memudahkan rezeki. Kala itu ana memohon kepada Allah agar diberi pekerjaan. Dan Allahu Akbar! Kenyataannya memang benar, Ukh. Kerjaan yang cari ana, bukan ana yang cari pekerjaan. Ana pun balik ke rumah dan mulai bekerja. Dan alhamdulillah jadwal kerja ana hanya 2 hari dalam seminggu, jadi ana masih punya banyak hari untuk mendalami ilmu agama, dengan membaca dan mengaji.

Hingga pada suatu ketika, Allah hadirkan seorang temen baru dalam ruang hidup ana. Kenal lewat Instagram memang, tapi beliau sungguh banyak sekali memberi ana ilmu. Dari beliau ana jadi belajar tantang Salafi, tentang Sunnah. Dulu ana sempat mengira bahwa bercadar itu seperti teroris, seperti ninja, aliran sesat, dan lain-lain. Namun alhamdulillah Allah pahamkan ana tentang cadar. Sejak itu ana mulai tertarik menggunakannya, bahkan sampai sekarang ana sangat ingin terus memakainya. Ya walaupun belum bisa full, karena alasan pekerjaan. Ketika memakainya, hati ana tentram sekali rasanya. Hanya butuh waktu saja untuk membuat orang disekeliling ana terbiasa melihat ana bercadar. Semoga Allah senantiasa pahamkan kita akan ilmu-ilmu agama dan semoga Allah meridhoinya.

Ana juga baru beberapa bulan ini berusaha untuk tidak mengupload foto wajah. Berat memang rasanya, karena sejatinya wanita itu ingin dilihat dan dipuji. Namun alhamdulillah ana masih bisa menahannya.

Setelah ana hijrah, alhamdulillah banyak yang ingin melamar, tapi ana menolak Ukh. Ana masih butuh belajar, masih ingin mencari ilmu, karena ana tahu pernikahan itu tidak melulu tentang bahagia, tapi juga ada ujian-ujian yang harus dihadapi dan diselesaikan oleh dua kepala yang berbeda. Dan menurut ana, itu tidaklah mudah.

Sekian, Ukh. Semoga bisa dijadikan pembelajaran untuk kita semua ☺

Rabu, 17 Agustus 2016

Aku, Kau dan Jodohku



Selamat tinggal, kepada kau yang pernah mampir di hatiku. Maaf, ya. Aku tidak mau berbasa basi dengan berkata, 'semoga bisa bertemu lagi'. Tidak. Sebab nyatanya, aku memang tak ingin berjumpa lagi denganmu. Aku tidak ingin ada nostalgia jika kita saling menyapa. Setelah aku bertemu dengan jodohku, cerita kita sudah mati. Dan kenangan-nya sudah kukubur di tanah antah barantah. Sehingga, tak akan pernah kuziarahi lagi. Sungguh tak akan.

Bukan. Bukan karena aku membencimu. Sebab setelah kita saling melambai tangan, aku dan kau sudah sepakat untuk saling memaafkan, bukan? Tidak ada dendam, amarah, apalagi benci. Tidak ada. Aku hanya sedang ingin memantapkan hati, untuk dia yang dipilihkan oleh Allah.

Maaf ketika kita sudah saling memunggungi, berpisah, aku tak lagi menoleh, ya. Kau tahu kenapa? Karena sungguh tak ada lagi kesempatan yang akan kuberi, setelah jutaan kali aku menawarkan-nya kepadamu. Aku tidak ingin sayatan di jiwa ini semakin banyak. Lagipula jodohku adalah amanah dari Allah. Maka aku, tak ingin menghianatinya.

Tidak. Aku tidak sedang memutus silaturahim denganmu. Sebab sepemahamanku, silah artinya ikatan, rahim maknanya darah yang tersambung semisal saudara, karib, atau keluarga dekat lain-nya. Dan kau siapa? Jadi tidak haram jika aku memutus hubungan di antara kita, sepanjang alasan-nya untuk menjaga diri. Sekali lagi duhai, aku ingin menjaga hati agar perasaan ini hanya tumpah pada jodohku seorang. Tidak kepadamu.

Aku sudah lelah mengetuk pintu hatimu, namun kau tak sudi membuka. Aku sudah payah mengejarmu, tapi kau tak mau berhenti. Bahkan, aku sudah letih menyapa, sedang kau tak berkenan menyahut. Dan aku akan mengemis terus menerus sampai tua, begitu? Oh tidak. Tidak. Aku tidak ingin menghabiskan sisa usia di penjara perasaan. Aku ingin lepas. Aku ingin bebas. Aku ingin merasakan manisnya dicintai, setelah bosan mencicipi pahitnya mencintai.

Ya ya yaaa... aku memang tidak akan bisa melupakan-mu. Namun bagiku, melepaskan bukan tentang bisa tidaknya melupakan. Melepaskan adalah tentang sebuah pilihan. Dan kau tahu? Yaps. Aku sudah putuskan untuk memilih bahagia.

Untuk kesekian kalinya, maafkan jika seba'da pisah tak ada kabar dariku, ya. Kau ingin tahu kenapa? Sebab pastinya aku akan sibuk. Sibuk? Iya, aku akan sangat sibuk mencintai jodohku. Sepenuhnya. Jadi bagiku, sorry, tak akan pernah ada waktu untuk sekedar memikirkanmu. Sungguh tak akan. Sedetik pun.

ー Abby A. Izzuddin

Jumat, 29 Juli 2016

Filosofi Sebatang Pensil




"Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi banyak orang?!"
Ah, kalimat itu belakangan semakin sering muncul dalam pikiranku. Padahal bagiku kalimat diatas sudah tidak asing lagi. Bahkan, kalimat tersebut adalah penggalan hadits yang sudah sangat familiar di kalangan Ummat Islam. Hidayah apa lagi ini, ya Allah?
Seketika saya teringat sebuah kisah tentang Filosofi Sebatang Pensil dalam buku 'Seribu Wajah Ayah' yang di tulis oleh Azhar Nurun Ala. Mungkin kalian pernah menemuinya dalam cerita-cerita Paulo Coelho.

Manusia seperti sebatang pensil. Ada lima hal penting yang bisa kita ambil sebagai pelajaran.
Pertama, sebatang pensil bisa menggambar apa saja, tapi selalu ada tangan yang menggerakkannya. Selalu ada tangan yang membimbingnya ke arah yang dikehendaki sang pemilik tangan. Dan pensil tak pernah punya daya untuk melawan kuasa si pemilik tangan itu. Itulah tangan Tuhan, yang membimbing kita dengan pedomannya, yakni Al-Quran. Bedanya dengan pensil, kita diberi kesempatan memilih. Masing-masing pilihan punya konsekuensinya sendiri.
Ketika ditarik lurus, goresan pensil akan membentuk garis. Ketika ditarik melingkar, tentu saja goresan yang dihasilkan berbentuk lingkaran. Sementara kepada manusia, Allah memberi kita pilihan : mau membentuk garis lurus atau lingkaran. Pilihan itu menyimpan konsekuensi masing-masing. Kalau kita pilih garis lurus, kita akan bla bla bla, kalau kita pilih lingkaran, kita akan bla bla bla. Tapi di atas semua itu, tetap saja Allah yang Maha Berkehendak.
Kedua, ketika kita menulis dengan pensil, sesekali kita akan berhenti untuk merautnya. Dengan begitu, pensil akan tetap tajam. Tentu kita bisa saja tidak merautnya, tapi pensil itu akan tumpul dan tidak menghasilkan yang baik bahkan tidak bisa digunakan.
Kita bisa melakukan berbagai hal yang menyenangkan di dunia, tapi sesekali kita perlu juga menderita. Sesekali kita perlu berhenti untuk mengasah hati, demi terawatnya ketajaman perasaan kita. Sesekali kita perlu merasakan sakit. Dan kesedihan, bila kita lalui dengan sabar, akan menjadikan kita orang yang lebih baik.
Ketiga, pensil tak pernah keberatan bila kita menggunakan penghapus untuk menghilangkan gambar atau tulisan yang telah tercipta oleh goresannya. Kita harus siap menerima kritik dari orang lain untuk memperbaiki diri kita jadi lebih baik lagi. Kita bukan manusia yang tahu segala, sehingga apa yang kita yakini belum tentu benar. Maka kita perlu mendengarkan masukan-masukan dari orang lain tentang diri kita, bahkan ketika hal itu tak sejalan dengan apa yang sedang kita kerjakan.
Selanjutnya, coba kau amati pensil yang ada di depanmu sekarang. Apa bagian paling penting dari pensil itu, bagian kayu di luar atau bagian grafit di dalamnya? Maka perhatikanlah selalu apa yang ada di dalam dirimu, sebab itu yang terpenting. Kau boleh saja tampil cantik atau tampan, tapi bila hatimu busuk, tetap saja kau hina di dunia dan kelak jahanam di akhirat.
Memangnya mana pensil yang lebih baik : yang warna cat luarnya indah tapi grafitnya rapuh dan pudar hasil goresannya atau yang warna catnya biasa saja tapi grafitnya kokoh dan tebal goresannya?
Terakhir, pensil punya panjang yang terbatas. Ia bisa digunakan menulis dan menggambar banyak hal, tapi suatu saat ia akan habis. Persis seperti umur kita juga terbatas ーbahkan telah ditentukan saat ruh kita ditiupkan. Dan dalam ketebatasan itu, pensil meninggalkan banyak bekas, entah gambar yang baik atau buruk.Begitu pula kita, manusia. Dalam keterbatasan umur kita sekarang, kita akan meninggalkan bekas. Tinggalkanlah sebanyak mungkin bekas yang baik, yang bisa dikenang orang sambil tersenyum. Jadilah yang yang banyak manfaatnya untuk banyak orang.

Tulisan itu berhasil merasuk kedalam jiwaku. Membuatku merenung, mengoreksi diri, dan memaksaku berpikir seribu kali. Memang, saat ini saya sudah memiliki tujuan hidup. Bahkan saya sudah menyusun banyak rencana untuk mencapai hal tersebut. Tapi, benarkah itu tujuan hidup yang selama ini aku inginkan? Atau hanya sekedar obsesiku saja? Lalu, hal apa yang bisa membuatku meninggalkan banyak bekas yang baik bagi banyak orang?!
...
Berilah petunjuk-Mu.

Rabu, 06 Juli 2016

Pamit




Aku pamit.
Kalimat itu sudah diketik, hampir saja dikirim pada sebuah nomor yang selama ini cukup spesial baginya. Tapi kalimat berisi dua kata itu dihapus lagi. Ia justru mematikan handphonenya. Menyimpan di bawah bantal. Kemudian, ia menangis. Menangis pelan namun deras. Tidak ada artinya kata pamit. Semua berawal tanpa kata, selesai pun tanpa kata, pikirnya. Perempuan itu lalu sejenak terdiam, menatap dinding birunya yang mengusam, membaca lembar demi lembar catatannya yang menuliskan semua perasaannya.

Perempuan sembilan belas tahun itu masih menangis.
Tiga tahun lalu, tanpa kata cinta layaknya sepasang muda-mudi menjalin tali asmara, dua orang ini justru saling menjauh, memilih menghindari perasaan mereka, sampai suatu waktu, tabir-tabir tersingkap dan mereka pun tak mampu menutupi lagi apa yang ada di hati mereka. Tidak ada tali apapun yang mengaitkan hati mereka, sungguh tidak ada. Atau kalaupun ada, mungkin tali itu yang disebut orang-orang bernama perasaan. Perempuan itu, tiga tahun menyimpan perasaannya. Bukan waktu yang lama. Sungguh singkat sebenarnya.

Tidak ada yang tahu, tapi sesosok laki-laki yang ia beri nama “Langit” mengerti dan memahami. Sesosok laki-laki itu membuatnya memiliki harapan. Jauh perjalanan mereka. Harapan-harapan itu menggantung dalam doa. Hingga perempuan itu kini mendapati banyak “Langit” yang juga siap memantulkan warna birunya untuknya. Perempuan itu jengah. Bukan ia berhenti mencintai Langitnya, tapi karena ia mengerti satu hal. BELUM SAATNYA MENCINTAI LANGIT. Sungguh belum saatnya. Dan kali ini, ia benar-benar menghayati kalimat itu.

Aku pamit.

Kalimat itu diketiknya lagi. Tapi satu persatu hurufnya ia hilangkan lagi dengan tombo lbackspace. Perempuan itu akhirnya terdiam. Ia tahu hatinya sungguh lemah. Berkali-kali kata pamit itu terucap, tapi perasaan itu belum juga mau pamit dari tuannya.

Maka ia memutuskan untuk diam, berusaha menjadi tegar. Diam-diam, ia pamit pada perasaan yang pernah ia sebut cinta. Diam-diam, ia pamit pada kata penantian yang pernah memenuhi halaman buku catatannya. Tiba-tiba, ia membiarkan semuanya berjalan sebagaimana mestinya tanpa perasaan menyesal, apalagi takut kehilangan. Diam-diam, ia berhenti mengamati gradasi warna biru yang ditampakkan Langit. Diam-diam, ia menutup semua ceritanya sendirian. Perempuan itu menjadi tegar.

Ia tengah asyik bercerita dengan taman bunganya. Ia tengah asyik bercengkerama dengan bunga-bunganya yang mekar. Ia tengah asyik mensyukuri karunia-Nya. Ia tengah asyik belajar bagaimana caranya menjadi bunga yang mekar dan indah untuk dipetik. Tidak ada yang berubah. Ia memilih pamit. Dan lihatlah, Tuhan menguatkan hatinya.

Mungkin, di suatu waktu, hari, dan tempat yang dirangkai-Nya, ia akan kembali bertemu dengan Langit. Ia harus menatap birunya, bahkan bercengkerama dengan matahari dan bulan bintangnya. Bahkan, mungkin, perempuan itu juga berkesempatan untuk menjelajahi isi Langit. Mungkin. Jika seseorang yang ia sebut Langit itu dia yang membuat ia menangis malam ini, maka memang garis Tuhan menitahkan begitu. Jika bukan, Langit itu pasti tetap biru dan membuatnya bahagia. Karena takdir Tuhan tidak akan pernah tertukar.

Perempuan itu lalu tersenyum di antara bulir-bulir air matanya. Sungguh, ia tidak tahu apa yang ada di dalam hati seseorang yang ia sebut Langit itu. Mungkin, ia masih menyimpan harapan. Mungkin, di dalam hati perempuan itu juga. Aku juga tidak tahu isi hatinya. Aku hanya seonggok buku yang pernah ditulis oleh perempuan itu. Aku pernah tahu tentang semua isi hatinya. Ah, tapi perempuan itu sekarang benar-benar merahasiakan tentang perasaannya. Yang aku tahu, penanya selalu mengatakan, “dia yang mengatakan pada yang membuatku ada, yang akan mendapatkan jawabannya.”
Kalau takdir sudah berkehendak, maka tidak ada apapun yang bisa memisahkan. Melalui pena ini, kukembalikan hati yang pernah kujaga. Kukembalikan nama yang bertahun membuatku tersenyum juga menangis. Kukembalikan kisah pada keindahan skenario-Nya. Aku ingin berbahagia di taman bungaku. Dan kamu, berbahagialah di hamparan luasmu. Bawa cahayamu jika benar kau ingin jadikanku bulan di malammu. Lakukan saja, jangan janjikan. Toh, takdir Tuhan, tidak akan pernah tertukar.

Tanpa sepatah kata pun, perempuan itu pamit. Ia pamit pada hatinya sendiri.
Tidak ada yang perlu disesali dari sebuah perasaan yang menyesakkan, karena fitrahnya manusia mengalami itu. Tapi membiarkan rasa sesak berlarut dalam penantian juga tidak baik. Lebih baik menyibukkan diri belajar, menyibukkan diri memperbaiki kualitas hati dan diri, meyibukkan diri bercerita bersama taman-taman bunga. Perempuan itu, mungkin nanti juga akan jatuh lagi. Mungkin ia akan menangis lagi. Tapi, semoga tulisan ini membuatnya ingat, bahwa takdir-Nya tidak akan pernah tertukar. Semoga tulisan ini membuatnya tegar. Semoga membuat tegar pula perempuan-perempuan lain yang tengah jengah oleh rasa sakit, rindu, galau, dan perasaan lain karena “Langit” mereka.

Kuawali cerita ini dari sebuah “selesai”. Bismillah..

- Ahimsa Azaleav



Surat


Jakarta, 2 Juli 2016
Sore itu pasien sudah mulai sepi. Suara dering telepon juga mulai berkurang. Itu artinya pekerjaan saya sudah mulai bisa 'disambi', disambi membaca. Pepatah mengatakan : buku adalah jendela dunia. Dengan membaca buku, kita bisa mengenal dunia. Namun di jaman yang modern seperti sekarang, fungsi buku bisa jadi tergantikan oleh internet. Ya, bagiku internet adalah jendela dunia tanpa batas.
Karena akhir-akhir ini saya sedang menyukai dunia kepenulisan, terutama yang mengandung unsur sastra, maka dengan sengaja saya menulis : Ephemera – Ahimsa Azaleav di kotak mesin pencari Google. Maksud hati ingin pre-order (PO) buku tersebut untuk bekal bahan baca saat libur lebaran nanti, tapi ternyata bukunya belum bisa di PO. Sabar.
Tak ada rotan akar pun jadi. Belum bisa memaca bukunya secara langsung, saya masih bisa membaca quote-quotenya di Google. Hehe.. Setelah beberapa kali berganti halaman, tiba-tiba mataku tertahan pada sebuah tulisan. Ini bukan kutipan buku Ephemera, melainkan Hujan Matahari – Kurniawan Gunadi. Isi kutipannya tidak asing. Ah, sepertinya saya pernah mengalami situasi seperti ini. Saya membacanya berulang-ulang dengan penuh penghayatan. Tulisan alumni ITB ini benar-benar mewakili hati kaum hawa, lebih khususnya saya pada saat ini. Terimakasih, Kurniawan Gunadi.
Surat
Bahwa menjaga diri adalah hal yang paling sering alfa dari setiap kesempatan.
Beberapa waktu yang lalu, ada sebuah email dari negeri nun jauh disana, seorang sahabat lawas yang tinggal di belahan bumi yang berbeda. Sebuah email padat yang memaksa saya duduk berlama-lama didepan komputer dan membacanya seribu kali.
Kamu terlalu baik kepada banyak lawan jenismu, kepada banyak perempuan. Membuat mereka terlalu nyaman di dekatmu dan membuat mereka merasa tentram untuk membuka cerita kepadamu.
Aku hanya sekedar mengingatkan, bahwa berhati-hatilah. Kamu menumbuhkan apa yang tidak mereka tanam. Perasaan tentram dan nyaman itu lebih berbahaya dari perasaan cinta. Kau perlu tahu itu teman.
Bahwa aku mengenalmu sejak kecil adalah hal yang membuatku paham padamu. Kau sudah merusak masa depan dirimu dan banyak perempuan, bahwa mereka kemudian memiliki perasaan masa lalu yang bisa saja tumbuh ketika kamu sudah bersanding dengan orang lain.
Kau paham sesuatu ?
Aku katakan sekali lagi, jangan terlalu baik kepada banyak perempuan. Sikapmu itu seperti bom waktu, tinggal menunggu kapan meledaknya, jagalah dirimu lebih baik.
Kau tidak perlu terlalu dekat kepada mereka semua jika sekedar ingin menjadi laki-laki yang baik, bukan begitu ?
Aku kehabisan kata …

Selasa, 21 Juni 2016

Kadang-kadang, jarang selalu.


Dunia ini sering kadang-kadang, jarang selalu.
Pekat malam, kadang-kadang menenteramkan, tidak pernah selalu.
Seperti halnya jarak, kadang membuat senyum, tetapi lebih banyak menyesakkan walaupun tidak selalu, atau aku yang salah hitung..
Sejuk pagi, kadang-kadang membasuh jiwa, tidak pernah selalu.
Kadang-kadang menyakitkan. Seperti halnya rasa dan logika, kadang-kadang berat sebelah, kadang malah berat keduanya, tidak pernah selalu, sehingga jadilah berputar sendiri, atau aku yang tak pandai mengaturnya..
Rinai hujan, kadang-kadang romantis, tapi tidak selalu.
Romantis kadang-kadang mengiris jiwa-jiwa miris, rinai hujan bertoleransi dengan gerimis, atau aku yang terlalu melankolis..
Tawa canda kadang-kadang menyenangkan, jarang juga menyedihkan, tetapi pernah kadang-kadang membuat air mata. Tawa canda kadang juga menyesakkan, seperti halnya jarak, terkungkung hanya dalam kenangan, atau aku yang tak mau membuatnya benar-benar menyenangkan.
Berapa hal lagi yang kadang-kadang, coba temukan yang selalu.
Bahkan harmoni alam pun sudah tak selalu.
Musim panas pun kadang hujan.
Musim semi pun kadang gugur.
Persis perasaan manusia di zaman ini.
Terakhir, 1+1 pun tidak selalu sama dengan 2, 2×3 pun tidak selalu sama dengan 6
Tidak percaya? Lihat saja pandainya manusia memanipulasi semuanya di zaman ini.
Kadang, itulah mengapa ilmu sosial mengatakan semua sesuai konteksnya.
Maka sudah berapa banyak pertanyaan yang bisa dijawab dengan, “Tergantung bla..bla..bla..”
Konteks, kadang, selalu, kadang juga tidak mutlak benar.
Semua terlalu kadang-kadang, kecuali Dia yang selalu benar.
Ketetapan-Nya yang selalu benar, ayat-ayat-Nya yang selalu benar, manusia hanya kadang-kadang, tapi nanti akan selalu mati.

-Ahimsa Azaleav

Sabtu, 18 Juni 2016

Merantau



Orang pandai dan beradab tidak akan diam di kampung halaman.
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang.
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan.
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.

Aku melihat air yang diam menjadi rusak karena diam tertahan.
Jika mengalir menjadi jernih jika tidak kan keruh menggenang.
Singa tak akan pernah memangsa jika tak tinggalkan sarang.
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran.

Jika saja matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam,
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang.
Rembulan jika terus-menerus purnama sepanjang zaman,
Orang-orang tidak akan menunggu saat munculnya datang.

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang.
Setelah diolah dan ditambang manusia ramai memperebutkan.
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan.
Jika dibawa ke bandar berubah mahal jadi perhatian hartawan.

Untaian Nasihat Imam Asy-Syafi'i Rahimahullah (767 M - 820 M)

Kamis, 09 Juni 2016

Universitas Indonesia, 6 Mei 2016

(Universitas Indonesia, Depok)

Masih dalam suasana Hari Pendidikan Nasional, maka liburan kali ini kami memutuskan untuk mengunjungi sebuah majelis ilmu yang sudah tersohor di negeri ini. Universitas Indonesia atau biasa disingkat UI. Kami bertiga, saya, Eka dan Nida, berangkat sekitar pukul 10.30 WIB dari Bekasi. Dalam perjalanan ini, kami menggunakan alat transportasi kereta api Commuter Line dari Stasiun Kranji, Bekasi menuju Stasiun Universitas Indonesia, Depok. Terjadi penumpukan penumpang disana. Ya, karena memang sedang long weekend.

(Stasiun Kranji, Bekasi)

Tujuan kami mungkin agak berbeda dari mereka kebanyakan. Bukan ke tempat-tempat wisata seperti Kota Tua, Dufan, Kebun Raya Bogor, dan lain-lain. Kami memang cenderung antimainstream. Entah apa maksud kedatangan kami kesana, karena memang sedang tidak ada acara apapun di UI.
Setelah transit di Stasiun Manggarai dan berganti kereta, akhirnya kami sampai di Stasiun Universitas Indonesia. 
(Stasiun Universitas Indonesia)

Kami turun dari kereta bersama para mahasaswa UI. Hatiku berbisik lirih "Beruntung sekali mereka. Andai dulu saya.. Ah, apa-apaan ini!" Astaghfirullohal'adzim, hati dan pikiranku mulai protes akan ketentuan Allah. Aku yakin, semua apa yang terjadi padaku itu adalah bagian rencana indah-Nya. Harusnya aku bersyukur, bukan malah berandai-andai lalu menyalahkan keadaan. Aku pernah membaca sebuah hadits sahih yang artinya ;
Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda : "Berusahalah meraih apa-apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan bersikap lemah. Jika musibah menimpamu, janganlah katakan : Seandainya aku melakukan ini dan ini tentu hasilnya akan begini dan begini. Akan tetapi katakanlah : 'Ini adalah takdir Allah, apa yang di kehendaki- Nya pasti terjadi.' Sebab berandai - andai itu dapat membuka pintu kejahatan setan." 
( Hadits riwayat Muslim (6945) dari Abu Hurairah )


Memasuki wilayah kampus, kami langsung merasakan hawa asri nan teduh. Ya, karena sekitar 75% wilayah kampus adalah ruang terbuka hijau. Bangunan pertama yang aku lihat adalah gedung Fakultas Psikologi.

(Fakultas Psikologi UI)
Ma syaa Allah, impian ! Darisanalah lahir para Psikolog hebat di negeri ini. Namun apa daya aku hanya bisa mengibur diri sembari berkata, tidak semua yang diperjuangkan akan didapatkan. Karena hidup adalah perjuangan, bukan pemenangan. Aku belajar satu hal baru. Memang impian bisa menjadi nyata, tapi nyata bisa jadi hampa.
Karena sudah memasuki waktu dzuhur, akhirnya kami mencari masjid untuk sholat. Setelah bertanya-tanya dengan mahasiswanya, berjumpalah kami dengan masjid yang berlantai dua ini. Masjid Ukhuwah Islamiyah, UI Depok. 

(lantai bawah masjid UI)

(lantai dua masjid UI)

(tempat sholat wanita, lantai dua)

Masjidnya nyaman, bersih. Di lantai bawah ada beberapa mahasiswa yang sedang belajar bahkan tilawah. Sebenarnya masih ingin berlama-lama, namun karena sudah masuk jam makan siang dan perut mulai berirama, apa boleh buat kami langsung bergegas menuju kantin kampus. Disana ada berbagai makanan dan minuman seperti, bakso, ayam goreng, siomay, batagor, es campur, dan lain-lain. Untuk harganya masih terjangkau kok. Ada satu tempat lagi yang ingin kami kunjungi disini yaitu perpustakaan kampus UI. Namun hari sudah semakin sore, perjalanan kami masih jauh. Takut kemalaman di jalan akhirnya kami pun pulang. 
Alhamdulillah, akhirnya bisa menorehkan satu simbol checklist di daftar tempat yang ingin aku kunjungi dalam waktu dekat ini.



Selasa, 07 Juni 2016

Seputar Ta'aruf



Bismillah ...

Kekagumanku terhadap para ikhwan yang 'nyunnah' semakin tak terelakkan. Betapa tidak, mereka benar-benar melaksanakan perintah Allah dan meneladani Rasul-Nya secara utuh. Tanpa banyak pertimbangan, tanpa mencari-cari alasan. Mereka pun tidak khawatir akan penilaian orang-orang terhadap dirinya. In lam takun 'alayya ghodobun fala uballi : asalkan Allah tidak marah kepadaku, apapun yang terjadi padaku, aku tidak peduli. Mereka benar-benar berorientasi terhadap kehidupan akhirat, atau mungkin mereka sudah merasakan nikmatnya iman. Seperti kata pepatah, " Iman itu seperti naik pesawat. Semakin tinggi ia terbang, makan akan semakin kecil dia melihat dunia."

Awalnya aku hanya penasaran, karena bagi kami yang awam, mereka terlihat berbeda dari yang lain. Namun semakin aku menelusuri dunia mereka, maka semakin aku dibuat jatuh cinta terhadap agama Allah. Betapa mereka sangat menjaga pandangannya, menjaga pergaulan dengan lawan jenis. Betapa mereka sangat memuliakan wanita. Ma syaa Allah. Perintah Allah itu memberi kemaslahatan, janji yang Allah beri itu menggembirakan, sedangkan ancaman-Nya itu menyelamatkan.

Aku memang suka mengamati kehidupan manusia dari segala aspeknya. Untuk saat ini aku lebih suka mengamati aspek religinya. Sedikit cerita, aku mempunyai teman. Dia seorang akhwat bercadar. Dia seorang yang haus akan ilmu, namun dia tidak kuliah secara formal. Usianya lebih muda satu tahun dariku. Qadarullah, saat ini dia sedang menjalani proses ta'aruf dengan seorang ikhwan yang 'nyunnah' juga. Mereka berjumpa beberapa minggu yang lalu dalam sebuah majelis ilmu. Dari perjumpaan itu, sang ikhwan tertarik untuk melakukan taaruf dengan sang akhwat. Tidak menunggu lama-lama, lalu sang ikhwan mengirim CV Ta'aruf beserta Proposalnya kepada sang akhwat untuk dipelajari. Singkat cerita, di sesi tukar CV, mereka cocok. Akhirnya sang ikhwan meminta izin untuk melakukan nadzhor (melihat calon pasangan) dan menemui wali sang akhwat. Entah diperbolehkan atau tidak (dalam agama), aku diberi tahu isi percakapan mereka dalam sesi tanya jawab. Isinya sungguh ma syaa Allah. Aku kagum dengan sikap dan  jawaban sang ikhwan. Sekali lagi, mereka sangat memuliakan wanita.
Setelah mengamati teman dan merasakannya sendiri, menurutku, bagian paling menarik dari proses ta'aruf adalah di sesi tanya-jawabnya. Karena dari situlah akan terlihat, cocok atau tidaknya mereka. Aku selalu takjub dengan cara Allah mengatur setiap detail perbuatan yang hamba-Nya lakukan di muka bumi ini.
Andai mereka yang masih pacaran mengetahui betapa indahnya proses ta'aruf, betapa nikmatnya menjaga kesucian, menjaga pergaulan. Andai mereka tahu betapa Allah sangat menyayangi kita dengan mengatur segala perbuatan kita sampai di hal yang terkecil sekalipun. Andai mereka tahu bahwa aturan yang Allah buat sesungguhnya adalah untuk menjaga kita, untuk menyelamatkan kita.

Sekali lagi, semakin aku mengenal dunia mereka yang 'nyunnah', semakin aku dibuat jatuh cinta terhadap agama Allah. Bagi sebagian orang, mungkin mereka masih terlihat aneh, atau bahkan ada yang mempertanyakan 'aliran apa?'
Padahal mereka hanya menjalankan perintah Allah dan meneladani Rasul beserta istri-istri beliau.
''Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang asing." (HR. Muslim)
Jangan khawatir menjadi orang yang terasing. Jangan khawatir akan tidak mendapatkan teman. Jangan khawatir tidak diterima di masyarakat, sulit bersosialisasi. Bukankah hidup kita di dunia hanyalah sebagai seorang musafir? Bukankah hidup ini hakikatnya adalah dari Allah dan untuk Allah? Bukankah Allah berjanji, jika kita meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Jikapun teman-teman menjauh, bukankah itu adalah proses seleksi alam. Dari seleksi itu akan tersisa teman mana saja yang benar-benar salih. Jangan terlena dengan banyaknya teman. Bahkan bangkaipun dikerubungi lalat. Ramainya orang-orang disekitar kita tidak pernah bisa menjadi ukuran kemuliaan seseorang.

Senin, 06 Juni 2016

Kutipan Tentang Rasa


Kalau urusan perasaan, perempuan itu lebih mudah berisyarat daripada berkata-kata. Harusnya kamu tau itu. Perempuan dilindungi Tuhan dengan rasa malu, apalagi untuk hal yang berhubungan dengan perasaan.
~ Nazrul Anwar

Menunggu itu bukan hanya masalah waktu, tapi juga tentang perasaan. Bukan waktunya yang lama, tapi rasanya yang lama. Dan sebagian perasaan, memang seringkali merepotkan.
~ Nazrul Anwar

Harusnya semua laki-laki di muka bumi ini mengerti betapa mahlnya harga sebuah kepastian. Apalagi bagi makhluk yang bernama perempuan. Kepastian tidak sesederhana iya atau tidak. Dalam bahasa keputusan, kepastian adalah salah satu sinonim dari keberanian.
~ Nazrul Anwar

Tidak ada cara terbaik untuk menghadapi ketidakpastian, selain dengan memastikannya.
~ Nazrul Anwar

Setelah jatuh, aku memilih jauh.
Menjauh, untuk menjaga.
~ Azhar Nurun Ala

Adakah yang lebih menyedihkan dari kepergian tanpa pesan?
Adakah yang lebih menyesakkan dari perpisahan tanpa lambai tangan?
Adakah jatuh cinta yang salah, atau hati yang tak siap?
~ Azhar Nurun Ala

Harusnya aku sadar, cinta tak mungkin selamanya menunggu. Ia bisa kadaluarsa bila tak diperlakukan sebagaimana mestinya.
~ Azhar Nurun Ala

Kali ini, biarkan aku bicara langsung pada jiwamu. Tanpa sekat, tanpa tedeng, tanpa border. Untuk menanyakan apa-apa yang khawatir telah kusalahartikan. Tentang siapa merindukan siapa. Tentang siapa mengharapkan apa. Adakah kata 'saling' terkandung? Atau, adakah hukum aksi-reaksi berlaku disana?
Aku perlu tau, tapi aku tak butuh mulutmu berkata-kata. Hanya ingin jiwamu yang bercerita.
Ya, aku perlu tau. Meski tak selamanya pengetahuan membuatku nyaman.
Aku hanya takut salah.
~ Azhar Nurun Ala

Kita semakin jauh. Dan itu membuatku semakin aman.
~ Kurniawan Gunadi

Semakin kesini, semakin merasa tidak pantas. Hendak mundur merasa sayang, hendak maju merasa malu.
~ Kurniawan Gunadi

Pasangan hidup itu jalan, tujuannya Allah.
~ Kurniawan Gunadi

Kesendirian memang tak menghapus kesedihan. Tapi setiap kesedihan memerlukan kesendirian.
~ Ahimsa Azaleav

Aku sudah memutuskan untuk benar-benar melepaskan. Ah, bukan saja melepaskan. Aku membabat habis setiap rindu yang berusaha tumbuh, menyudahi ceracauan-ceracauan pada bulan atau angin, menutup semua cerita tentang kamu, memutuskan untuk tak lagi menuliskan apapun huruf tentang kamu.
Cerita kita yang amat menyakitkan itu membuatku banyak belajar hakikat cinta dan memiliki. Hakikat cinta adalah milik-Nya. Aku memilih mendekat pada-Nya. Melupakanmu. Benar, tak ada satupun yang bisa melepaskan kecenderungan hati akan sesuatu selain membuat kecenderungan yang lain. Dan aku memilih untuk mencenderungkan hatiku pada-Nya.
~ Ahimsa Azaleav

Karena terkadang rumah bukanlah sebuah tempat, tetapi seseorang. Tempat untuk kembali setelah jauh berjalan. Dan pulang, bukan lagi menjadi tujuan. Tapi lebih kepada pertemuan. Saat menemukanmu, aku merasa pulang.
~ Aldilla Dharma

Minggu, 05 Juni 2016

Kutipan Tentang Rindu




Apa yang menyakitkan tentang rindu?
Ketika kau ingin bertutur sapa dengannya namun jarak menjadi ujian untuk insan yang saling merindu.
Apa yang menyakitkan tentang rindu?
Ketika namanya selalu menjadi isi dalam doa beserta harapan agar dapat bertemu atas izin dariNya, namun kesabaran dan mengikhlaskannya kadang menjadi cerita akhir untuk berhenti merasakan rindu.
~ Amalia Husadani

Biarkan saya melipat rim-an rindu.
Biarkan saya tak membahasakannya.
Untuk apa? Toh, percakapan tidak menuntaskan kerinduan, justru menambah ketebalannya.
~ Azhar Nurun Ala

Tentang Aku




Aku menikmati duniaku.
Dunia yang aktivitasnya jarang dilakukan orang lain.
Aktivitas ini tak memerlukan fisik untuk bekerja.
Namun lebih kepada otak atau pikiran.
Lebih fokus kepada indera pengelihatan dan pendengaran.

Ya, aku seorang pengamat !
Objek yang paling menarik untuk kuamati adalah manusia.
Bukan hewan, tumbuhan, apalagi benda mati.

Menurutku, manusia itu unik.
Allah menciptakan milyaran manusia dengan bentuk dan pribadi yang berbeda-beda.
Karena perbedaan itulah, aku suka mengamati mereka.
Mulai dari body language, dari cara mereka menatap, berbicara, tersenyum, tertawa, jenis suara.
Dari apa yang mereka tulis, pemilihan kata, juga bentuk tulisannya.
Bagaimana cara mereka belajar, bergaul, berpakaian, sampai cara mereka berjalan.

Bahkan aku juga suka mengamati kisah perjuangan hidup mereka.
Karena dari sana, aku bisa mengambil ibrah tanpa perlu mengalami langsung kisah tersebut.