Sabtu, 20 Agustus 2016

Hijrah



Salah satu hal menarik ketika mempunyai teman baru (yang sama-sama telah berhijrah) adalah berbagi cerita. Entah itu cerita pengalaman, aktivitas, hobi atau cerita perjalanan hijrah.

Sekitar satu minggu yang lalu, dia memintaku untuk menceritakan kisah hijrahku. Namun, karena waktu itu moodku sedang tidak stabil, akhirnya baru kemarin aku bersedia untuk menceritakannya.

Ya, postingan kali ini adalah tentang cerita hijrah kami, aku dan teman baruku. Tulisan di bawah adalah salinan percakapan kami. Aku harap ada hal positif yang bisa diambil dari kisah kami.



Cerita hijrah ana baru dimulai tahun lalu, Ukh. Masih seumur jagung. Dan ana masih merasa anak baru kemarin sore dalam urusan agama. Satu hal mendasar yang ana perbaiki terlebih dahulu waktu itu adalah hubungan dengan lawan jenis. Lebih tepatnya kalau bahasa anak jaman sekarang 'Pacaran'. Ya, dulu ana pernah pacaran. Pacaran syari katanya. Namun, saat akhir 2014, ana merasa seperti ada yang salah dengan diri ini. Padahal hidup ana sedang berada di zona nyaman, tidak merasa ada teguran dari Allah. Setiap kali ana bertemu dengan pacar ana, ana merasa ada yang aneh. Tiba-tiba ana menjadi orang yang sangat pemikir, ana selalu bertanya-tanya sendiri. Bukankah pacaran itu dosa?! Ajaran siapa ini? Jangankan pacaran, bahkan saling bertatap mata terhadap yang bukan muhrim pun bisa menjadi dosa. Sebenarnya ana tahu hukum-hukumnya, tapi kenapa masih melanggar? Yassalam..
Hati dan pikiran ana sangat berkecamuk kala itu. Akhirnya setelah mencari ilmu lebih dalam mengenai haramnya berpacaran dan batasan2 dalam pergaulan, ana memantapkan hati. Awal 2015, ana memutuskan pacar ana. Waktu itu niatnya benar-benar lillahi taala. Ndak peduli apa yang dirasa, apa kata orang, apa akibatnya. Ana ingin hijrah. Dosa ana sudah terlalu banyak. Ana tidak ingin melakukan dosa dengan sadar. Ana ingin berusaha mematuhi perintahNya dan menjauhi segala laranganNya.

Memasuki pertengahan tahun 2015, ana baru memperbaiki penampilan, Ukh. Ana berusaha mengistiqomahkan hijab dan gamis. Sebelumnya, ana memang berhijab. Tapi kadang saat kerja masih pakai celana. Hijab masih yang modis. Kadang malah pakai tutorial, lilit sana lilit sini. Kalau dirumah ada non muhrim, kadang ana tidak memakai hijab. Hijab itu baru sekitar 85 persen, Ukh.

Setelah beberapa bulan mengistiqomahkan hijab, ana baru memakai hijab syari. Ndak tahu kenapa, lama-lama kalau pakai hijab yang pendek rasanya malu. Mungkin itu bagian dari hidayah. Ya, hidayahNya datang lagi.

In syaa Allah ana tidak hanya berhijrah penampilan, tapi juga akhlak. Ana terus berusaha menambah ilmu-ilmu agama dan memperbaiki diri dari segala sapeknya.

Waktu itu ana bekerja di Lembaga Keuangan Syariah, Ukh. Akhir 2015 ana memutuskan resign. Kenapa? Karena ana takut jika pekerjaan yang ana lakukan mengandung unsur riba. Memang sih judulnya Syariah, tapi ana sebagai orang yang bekerja di dalamnya tahu betul apakah konsep syariah tersebut sudah benar-benar diterapkan atau belum. Dan menurut ana belum. Ada perbedaan pendapat dalam urusan ini. Tapi ana pernah membaca sebuah hadits, yang katanya apabila terdapat sesuatu yang syubhat (halal atau haramnya belum jelas) maka lebih baik ditinggalkan. Bismillah.. Lagi-lagi niat ana lillahi taala. Ana tidak ingin bekerja yang seharusnya bernilai ibadah, malah menjadi sebab siksa ana di akhirat. Na'udzubilah.
Ana percaya, ketika kita meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.Awalnya orang tua tidak setuju dengan keputusan ana, karena memang secara gaji sudah lebih dari cukup, dan secara jabatan pun ana nyaman. Namun saat ana jelaskan alasan-alasannya, alhamdulillah mereka mengizinkan.

Sampai akhirnya di awal tahun 2016, hati ana terketuk untuk mencoba memakai hijab yang sebesar ini (hijab+cadar). Itu karena ana selalu kagum ketika melihat mereka yang menjulurkan hijab ke seluruh tubuh serta menutup wajahnya dengan cadar. Setelah mencoba memakainya, rasanya maa syaa Allah banget, nyaman ! Ana semakin penasaran dengan segala hal yang berbau Sunnah. Ana pun mulai mempelajarinya. Dari situ ana benar-benar menyadari, betapa syariat Islam itu sebenarnya mudah dan membawa kedamaian bagi yang menjalankan.
Ketika ana berusaha semakin mendekat kepadaNya, alhamdulillah Dia mempertemukan ana dengan sahabat-sahabat yang searah, sepemikiran. Yang mereka juga ingin bercadar secara istiqomah (ada pula beberapa yang sudah istiqomah). Saat ana merantau ke Bekasi-Jakarta, ana bisa dengan leluasa memakai cadar, sehingga ana merasa betah tinggal disana. Tapi ketika di kampung, cadar ana hanya terlipat di lemari, Ukh. Sedih.

Selepas ana memutuskan berhijrah, alhamdulillah cukup banyak ikhwan yang mengajak taaruf, bahkan mengajak nikah. Tapi sampai sekarang belum ada yang cocok, Ukh. Sepertinya Allah ingin ana menuntut ilmu sebanyak-banyaknya dulu.

Ana tidak memasang gambar-gambar wajah di media sosial juga masih baru-baru ini. Baru beberapa bulan yang lalu. Ternyata godaannya sangat berat, sampai sekarang ana masih belajar. Selain karena ana tahu hal itu cenderung dilarang agama, itu juga karena, kalau bertemu ikhwan, lalu si ikhwan memandang dan memperhatikan ana, rasanya malu. Apalagi kalau gambar-gambar wajah ana dilihat oleh banyak orang, malu sangaat. Ana tidak ingin mereka berteman dengan ana karena sebab rupa. Dan yang lebih ditakutkan, ana tidak ingin calon jodoh ana memiliki kecenderungan hati hanya karena rupa. Karena sejatinya wajah dan segala yang kita miliki ini hanyalah titipan. Bukankah kita hidup di dunia hanya sebentar saja?!

Seperti itu Ukh, cerita singkatnya.
Mohon doanya semoga istiqomah dan ilmu ana kian bertambah ☺



Maa syaa Allah, barakallah fiik Ukhti..

Awal hijrah ana akhir tahun 2013, Ukh. Hijrah yang benar-benar hijrah. Waktu itu ana masih semester 2 di bangku kuliah. Ana tamatan pesantren, ana tahu ilmu tentang hijab, pacaran, dan lain-lain. Tapi ana masih acuh akan ilmu ana. Bahkan, ana meninggalkan hijab syar'i ana ke hijab yang lebih modern dengan seabrek tutorial, pakai jelana jeans dan tabarruj lagi.Ana pacaran, ana jarang banget mengikuti kajian, ana terlanjur terjerumus diruang lingkup yang melenakan dan teman-teman yang tidak paham agama.Sampai pada akhirnya hati ana gelisah, pikiran kacau. Kalau bahasa gaulnya "galau berat". Hehe. Ana putuskan pacar ana, tapi hati ana masih gelisah, ana ingin berubah tapi susah, karena ruang lingkup ana itu tidak mendukung.

Sampai akhirnya ana mencoba mencari cara agar ana kembali ke jalan yang benar, kembali pada tujuan hidup yang sesungguhnya. Ana putuskan untuk berhenti kuliah. Karena pada saat itu, jika ana tetap kuliah kemungkinan untuk berubah itu tidak ada. Kemudian ana mengiuti kursus selama satu tahun. Ana kembali lagi mengenakan hijab syar'i dan bergaul dengan teman-teman baru yang lebih baik tentunya.

Setelah ana selesai kursus, ana pulang kampung, dan menganggur sekitar 4 bulan. Ana mau kerja, tapi tidak tahu kerja apa. Akhirnya ana main ke kampung halaman ana di Medan. Ana yakin bahwa sholat duha itu memudahkan rezeki. Kala itu ana memohon kepada Allah agar diberi pekerjaan. Dan Allahu Akbar! Kenyataannya memang benar, Ukh. Kerjaan yang cari ana, bukan ana yang cari pekerjaan. Ana pun balik ke rumah dan mulai bekerja. Dan alhamdulillah jadwal kerja ana hanya 2 hari dalam seminggu, jadi ana masih punya banyak hari untuk mendalami ilmu agama, dengan membaca dan mengaji.

Hingga pada suatu ketika, Allah hadirkan seorang temen baru dalam ruang hidup ana. Kenal lewat Instagram memang, tapi beliau sungguh banyak sekali memberi ana ilmu. Dari beliau ana jadi belajar tantang Salafi, tentang Sunnah. Dulu ana sempat mengira bahwa bercadar itu seperti teroris, seperti ninja, aliran sesat, dan lain-lain. Namun alhamdulillah Allah pahamkan ana tentang cadar. Sejak itu ana mulai tertarik menggunakannya, bahkan sampai sekarang ana sangat ingin terus memakainya. Ya walaupun belum bisa full, karena alasan pekerjaan. Ketika memakainya, hati ana tentram sekali rasanya. Hanya butuh waktu saja untuk membuat orang disekeliling ana terbiasa melihat ana bercadar. Semoga Allah senantiasa pahamkan kita akan ilmu-ilmu agama dan semoga Allah meridhoinya.

Ana juga baru beberapa bulan ini berusaha untuk tidak mengupload foto wajah. Berat memang rasanya, karena sejatinya wanita itu ingin dilihat dan dipuji. Namun alhamdulillah ana masih bisa menahannya.

Setelah ana hijrah, alhamdulillah banyak yang ingin melamar, tapi ana menolak Ukh. Ana masih butuh belajar, masih ingin mencari ilmu, karena ana tahu pernikahan itu tidak melulu tentang bahagia, tapi juga ada ujian-ujian yang harus dihadapi dan diselesaikan oleh dua kepala yang berbeda. Dan menurut ana, itu tidaklah mudah.

Sekian, Ukh. Semoga bisa dijadikan pembelajaran untuk kita semua ☺

Rabu, 17 Agustus 2016

Aku, Kau dan Jodohku



Selamat tinggal, kepada kau yang pernah mampir di hatiku. Maaf, ya. Aku tidak mau berbasa basi dengan berkata, 'semoga bisa bertemu lagi'. Tidak. Sebab nyatanya, aku memang tak ingin berjumpa lagi denganmu. Aku tidak ingin ada nostalgia jika kita saling menyapa. Setelah aku bertemu dengan jodohku, cerita kita sudah mati. Dan kenangan-nya sudah kukubur di tanah antah barantah. Sehingga, tak akan pernah kuziarahi lagi. Sungguh tak akan.

Bukan. Bukan karena aku membencimu. Sebab setelah kita saling melambai tangan, aku dan kau sudah sepakat untuk saling memaafkan, bukan? Tidak ada dendam, amarah, apalagi benci. Tidak ada. Aku hanya sedang ingin memantapkan hati, untuk dia yang dipilihkan oleh Allah.

Maaf ketika kita sudah saling memunggungi, berpisah, aku tak lagi menoleh, ya. Kau tahu kenapa? Karena sungguh tak ada lagi kesempatan yang akan kuberi, setelah jutaan kali aku menawarkan-nya kepadamu. Aku tidak ingin sayatan di jiwa ini semakin banyak. Lagipula jodohku adalah amanah dari Allah. Maka aku, tak ingin menghianatinya.

Tidak. Aku tidak sedang memutus silaturahim denganmu. Sebab sepemahamanku, silah artinya ikatan, rahim maknanya darah yang tersambung semisal saudara, karib, atau keluarga dekat lain-nya. Dan kau siapa? Jadi tidak haram jika aku memutus hubungan di antara kita, sepanjang alasan-nya untuk menjaga diri. Sekali lagi duhai, aku ingin menjaga hati agar perasaan ini hanya tumpah pada jodohku seorang. Tidak kepadamu.

Aku sudah lelah mengetuk pintu hatimu, namun kau tak sudi membuka. Aku sudah payah mengejarmu, tapi kau tak mau berhenti. Bahkan, aku sudah letih menyapa, sedang kau tak berkenan menyahut. Dan aku akan mengemis terus menerus sampai tua, begitu? Oh tidak. Tidak. Aku tidak ingin menghabiskan sisa usia di penjara perasaan. Aku ingin lepas. Aku ingin bebas. Aku ingin merasakan manisnya dicintai, setelah bosan mencicipi pahitnya mencintai.

Ya ya yaaa... aku memang tidak akan bisa melupakan-mu. Namun bagiku, melepaskan bukan tentang bisa tidaknya melupakan. Melepaskan adalah tentang sebuah pilihan. Dan kau tahu? Yaps. Aku sudah putuskan untuk memilih bahagia.

Untuk kesekian kalinya, maafkan jika seba'da pisah tak ada kabar dariku, ya. Kau ingin tahu kenapa? Sebab pastinya aku akan sibuk. Sibuk? Iya, aku akan sangat sibuk mencintai jodohku. Sepenuhnya. Jadi bagiku, sorry, tak akan pernah ada waktu untuk sekedar memikirkanmu. Sungguh tak akan. Sedetik pun.

ー Abby A. Izzuddin