Rabu, 06 Juli 2016

Pamit




Aku pamit.
Kalimat itu sudah diketik, hampir saja dikirim pada sebuah nomor yang selama ini cukup spesial baginya. Tapi kalimat berisi dua kata itu dihapus lagi. Ia justru mematikan handphonenya. Menyimpan di bawah bantal. Kemudian, ia menangis. Menangis pelan namun deras. Tidak ada artinya kata pamit. Semua berawal tanpa kata, selesai pun tanpa kata, pikirnya. Perempuan itu lalu sejenak terdiam, menatap dinding birunya yang mengusam, membaca lembar demi lembar catatannya yang menuliskan semua perasaannya.

Perempuan sembilan belas tahun itu masih menangis.
Tiga tahun lalu, tanpa kata cinta layaknya sepasang muda-mudi menjalin tali asmara, dua orang ini justru saling menjauh, memilih menghindari perasaan mereka, sampai suatu waktu, tabir-tabir tersingkap dan mereka pun tak mampu menutupi lagi apa yang ada di hati mereka. Tidak ada tali apapun yang mengaitkan hati mereka, sungguh tidak ada. Atau kalaupun ada, mungkin tali itu yang disebut orang-orang bernama perasaan. Perempuan itu, tiga tahun menyimpan perasaannya. Bukan waktu yang lama. Sungguh singkat sebenarnya.

Tidak ada yang tahu, tapi sesosok laki-laki yang ia beri nama “Langit” mengerti dan memahami. Sesosok laki-laki itu membuatnya memiliki harapan. Jauh perjalanan mereka. Harapan-harapan itu menggantung dalam doa. Hingga perempuan itu kini mendapati banyak “Langit” yang juga siap memantulkan warna birunya untuknya. Perempuan itu jengah. Bukan ia berhenti mencintai Langitnya, tapi karena ia mengerti satu hal. BELUM SAATNYA MENCINTAI LANGIT. Sungguh belum saatnya. Dan kali ini, ia benar-benar menghayati kalimat itu.

Aku pamit.

Kalimat itu diketiknya lagi. Tapi satu persatu hurufnya ia hilangkan lagi dengan tombo lbackspace. Perempuan itu akhirnya terdiam. Ia tahu hatinya sungguh lemah. Berkali-kali kata pamit itu terucap, tapi perasaan itu belum juga mau pamit dari tuannya.

Maka ia memutuskan untuk diam, berusaha menjadi tegar. Diam-diam, ia pamit pada perasaan yang pernah ia sebut cinta. Diam-diam, ia pamit pada kata penantian yang pernah memenuhi halaman buku catatannya. Tiba-tiba, ia membiarkan semuanya berjalan sebagaimana mestinya tanpa perasaan menyesal, apalagi takut kehilangan. Diam-diam, ia berhenti mengamati gradasi warna biru yang ditampakkan Langit. Diam-diam, ia menutup semua ceritanya sendirian. Perempuan itu menjadi tegar.

Ia tengah asyik bercerita dengan taman bunganya. Ia tengah asyik bercengkerama dengan bunga-bunganya yang mekar. Ia tengah asyik mensyukuri karunia-Nya. Ia tengah asyik belajar bagaimana caranya menjadi bunga yang mekar dan indah untuk dipetik. Tidak ada yang berubah. Ia memilih pamit. Dan lihatlah, Tuhan menguatkan hatinya.

Mungkin, di suatu waktu, hari, dan tempat yang dirangkai-Nya, ia akan kembali bertemu dengan Langit. Ia harus menatap birunya, bahkan bercengkerama dengan matahari dan bulan bintangnya. Bahkan, mungkin, perempuan itu juga berkesempatan untuk menjelajahi isi Langit. Mungkin. Jika seseorang yang ia sebut Langit itu dia yang membuat ia menangis malam ini, maka memang garis Tuhan menitahkan begitu. Jika bukan, Langit itu pasti tetap biru dan membuatnya bahagia. Karena takdir Tuhan tidak akan pernah tertukar.

Perempuan itu lalu tersenyum di antara bulir-bulir air matanya. Sungguh, ia tidak tahu apa yang ada di dalam hati seseorang yang ia sebut Langit itu. Mungkin, ia masih menyimpan harapan. Mungkin, di dalam hati perempuan itu juga. Aku juga tidak tahu isi hatinya. Aku hanya seonggok buku yang pernah ditulis oleh perempuan itu. Aku pernah tahu tentang semua isi hatinya. Ah, tapi perempuan itu sekarang benar-benar merahasiakan tentang perasaannya. Yang aku tahu, penanya selalu mengatakan, “dia yang mengatakan pada yang membuatku ada, yang akan mendapatkan jawabannya.”
Kalau takdir sudah berkehendak, maka tidak ada apapun yang bisa memisahkan. Melalui pena ini, kukembalikan hati yang pernah kujaga. Kukembalikan nama yang bertahun membuatku tersenyum juga menangis. Kukembalikan kisah pada keindahan skenario-Nya. Aku ingin berbahagia di taman bungaku. Dan kamu, berbahagialah di hamparan luasmu. Bawa cahayamu jika benar kau ingin jadikanku bulan di malammu. Lakukan saja, jangan janjikan. Toh, takdir Tuhan, tidak akan pernah tertukar.

Tanpa sepatah kata pun, perempuan itu pamit. Ia pamit pada hatinya sendiri.
Tidak ada yang perlu disesali dari sebuah perasaan yang menyesakkan, karena fitrahnya manusia mengalami itu. Tapi membiarkan rasa sesak berlarut dalam penantian juga tidak baik. Lebih baik menyibukkan diri belajar, menyibukkan diri memperbaiki kualitas hati dan diri, meyibukkan diri bercerita bersama taman-taman bunga. Perempuan itu, mungkin nanti juga akan jatuh lagi. Mungkin ia akan menangis lagi. Tapi, semoga tulisan ini membuatnya ingat, bahwa takdir-Nya tidak akan pernah tertukar. Semoga tulisan ini membuatnya tegar. Semoga membuat tegar pula perempuan-perempuan lain yang tengah jengah oleh rasa sakit, rindu, galau, dan perasaan lain karena “Langit” mereka.

Kuawali cerita ini dari sebuah “selesai”. Bismillah..

- Ahimsa Azaleav



Tidak ada komentar:

Posting Komentar