Aku
pamit.
Kalimat
itu sudah diketik, hampir saja dikirim pada sebuah nomor yang selama
ini cukup spesial baginya. Tapi kalimat berisi dua kata itu dihapus
lagi. Ia justru mematikan handphonenya. Menyimpan di bawah bantal.
Kemudian, ia menangis. Menangis pelan namun deras. Tidak ada artinya
kata pamit. Semua
berawal tanpa kata, selesai pun tanpa kata, pikirnya. Perempuan itu
lalu sejenak terdiam, menatap dinding birunya yang mengusam, membaca
lembar demi lembar catatannya yang menuliskan semua perasaannya.
Perempuan
sembilan belas tahun itu masih menangis.
Tiga
tahun lalu, tanpa kata cinta layaknya sepasang muda-mudi menjalin
tali asmara, dua orang ini justru saling menjauh, memilih menghindari
perasaan mereka, sampai suatu waktu, tabir-tabir tersingkap dan
mereka pun tak mampu menutupi lagi apa yang ada di hati mereka. Tidak
ada tali apapun yang mengaitkan hati mereka, sungguh tidak ada. Atau
kalaupun ada, mungkin tali itu yang disebut orang-orang bernama
perasaan. Perempuan itu, tiga tahun menyimpan perasaannya. Bukan
waktu yang lama. Sungguh singkat sebenarnya.
Tidak
ada yang tahu, tapi sesosok laki-laki yang ia beri nama “Langit”
mengerti dan memahami. Sesosok laki-laki itu membuatnya memiliki
harapan. Jauh perjalanan mereka. Harapan-harapan itu menggantung
dalam doa. Hingga perempuan itu kini mendapati banyak “Langit”
yang juga siap memantulkan warna birunya untuknya. Perempuan itu
jengah. Bukan ia berhenti mencintai Langitnya, tapi karena ia
mengerti satu hal. BELUM SAATNYA MENCINTAI LANGIT. Sungguh belum
saatnya. Dan kali ini, ia benar-benar menghayati kalimat itu.
Aku
pamit.
Kalimat
itu diketiknya lagi. Tapi satu persatu hurufnya ia hilangkan lagi
dengan tombo lbackspace. Perempuan
itu akhirnya terdiam. Ia tahu hatinya sungguh lemah. Berkali-kali
kata pamit itu terucap, tapi perasaan itu belum juga mau pamit dari
tuannya.
Maka
ia memutuskan untuk diam, berusaha menjadi tegar. Diam-diam, ia pamit
pada perasaan yang pernah ia sebut cinta. Diam-diam, ia pamit pada
kata penantian yang pernah memenuhi halaman buku catatannya.
Tiba-tiba, ia membiarkan semuanya berjalan sebagaimana mestinya tanpa
perasaan menyesal, apalagi takut kehilangan. Diam-diam, ia berhenti
mengamati gradasi warna biru yang ditampakkan Langit. Diam-diam, ia
menutup semua ceritanya sendirian. Perempuan itu menjadi tegar.
Ia
tengah asyik bercerita dengan taman bunganya. Ia tengah asyik
bercengkerama dengan bunga-bunganya yang mekar. Ia tengah asyik
mensyukuri karunia-Nya. Ia tengah asyik belajar bagaimana caranya
menjadi bunga yang mekar dan indah untuk dipetik. Tidak ada yang
berubah. Ia memilih pamit. Dan lihatlah, Tuhan menguatkan hatinya.
Mungkin,
di suatu waktu, hari, dan tempat yang dirangkai-Nya, ia akan kembali
bertemu dengan Langit. Ia harus menatap birunya, bahkan bercengkerama
dengan matahari dan bulan bintangnya. Bahkan, mungkin, perempuan itu
juga berkesempatan untuk menjelajahi isi Langit. Mungkin. Jika
seseorang yang ia sebut Langit itu dia yang
membuat ia menangis malam ini, maka memang garis Tuhan menitahkan
begitu. Jika bukan, Langit itu pasti tetap biru dan membuatnya
bahagia. Karena takdir Tuhan tidak akan pernah tertukar.
Perempuan
itu lalu tersenyum di antara bulir-bulir air matanya. Sungguh, ia
tidak tahu apa yang ada di dalam hati seseorang yang ia sebut Langit
itu. Mungkin, ia masih menyimpan harapan. Mungkin, di dalam hati
perempuan itu juga. Aku juga tidak tahu isi hatinya. Aku hanya
seonggok buku yang pernah ditulis oleh perempuan itu. Aku pernah tahu
tentang semua isi hatinya. Ah, tapi perempuan itu sekarang
benar-benar merahasiakan tentang perasaannya. Yang aku tahu, penanya
selalu mengatakan, “dia yang mengatakan pada yang membuatku ada,
yang akan mendapatkan jawabannya.”
Kalau
takdir sudah berkehendak, maka tidak ada apapun yang bisa memisahkan.
Melalui pena ini, kukembalikan hati yang pernah kujaga. Kukembalikan
nama yang bertahun membuatku tersenyum juga menangis. Kukembalikan
kisah pada keindahan skenario-Nya. Aku ingin berbahagia di taman
bungaku. Dan kamu, berbahagialah di hamparan luasmu. Bawa cahayamu
jika benar kau ingin jadikanku bulan di malammu. Lakukan saja, jangan
janjikan. Toh, takdir Tuhan, tidak akan pernah tertukar.
Tanpa
sepatah kata pun, perempuan itu pamit. Ia pamit pada
hatinya sendiri.
Tidak
ada yang perlu disesali dari sebuah perasaan yang menyesakkan, karena
fitrahnya manusia mengalami itu. Tapi membiarkan rasa sesak berlarut
dalam penantian juga tidak baik. Lebih baik menyibukkan diri belajar,
menyibukkan diri memperbaiki kualitas hati dan diri, meyibukkan diri
bercerita bersama taman-taman bunga. Perempuan itu, mungkin nanti
juga akan jatuh lagi. Mungkin ia akan menangis lagi. Tapi, semoga
tulisan ini membuatnya ingat, bahwa takdir-Nya tidak akan pernah
tertukar. Semoga tulisan ini membuatnya tegar. Semoga membuat tegar
pula perempuan-perempuan lain yang tengah jengah oleh rasa sakit,
rindu, galau, dan perasaan lain karena “Langit” mereka.
Kuawali
cerita ini dari sebuah “selesai”. Bismillah..
-
Ahimsa Azaleav
Tidak ada komentar:
Posting Komentar