Jumat, 29 Juli 2016

Filosofi Sebatang Pensil




"Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi banyak orang?!"
Ah, kalimat itu belakangan semakin sering muncul dalam pikiranku. Padahal bagiku kalimat diatas sudah tidak asing lagi. Bahkan, kalimat tersebut adalah penggalan hadits yang sudah sangat familiar di kalangan Ummat Islam. Hidayah apa lagi ini, ya Allah?
Seketika saya teringat sebuah kisah tentang Filosofi Sebatang Pensil dalam buku 'Seribu Wajah Ayah' yang di tulis oleh Azhar Nurun Ala. Mungkin kalian pernah menemuinya dalam cerita-cerita Paulo Coelho.

Manusia seperti sebatang pensil. Ada lima hal penting yang bisa kita ambil sebagai pelajaran.
Pertama, sebatang pensil bisa menggambar apa saja, tapi selalu ada tangan yang menggerakkannya. Selalu ada tangan yang membimbingnya ke arah yang dikehendaki sang pemilik tangan. Dan pensil tak pernah punya daya untuk melawan kuasa si pemilik tangan itu. Itulah tangan Tuhan, yang membimbing kita dengan pedomannya, yakni Al-Quran. Bedanya dengan pensil, kita diberi kesempatan memilih. Masing-masing pilihan punya konsekuensinya sendiri.
Ketika ditarik lurus, goresan pensil akan membentuk garis. Ketika ditarik melingkar, tentu saja goresan yang dihasilkan berbentuk lingkaran. Sementara kepada manusia, Allah memberi kita pilihan : mau membentuk garis lurus atau lingkaran. Pilihan itu menyimpan konsekuensi masing-masing. Kalau kita pilih garis lurus, kita akan bla bla bla, kalau kita pilih lingkaran, kita akan bla bla bla. Tapi di atas semua itu, tetap saja Allah yang Maha Berkehendak.
Kedua, ketika kita menulis dengan pensil, sesekali kita akan berhenti untuk merautnya. Dengan begitu, pensil akan tetap tajam. Tentu kita bisa saja tidak merautnya, tapi pensil itu akan tumpul dan tidak menghasilkan yang baik bahkan tidak bisa digunakan.
Kita bisa melakukan berbagai hal yang menyenangkan di dunia, tapi sesekali kita perlu juga menderita. Sesekali kita perlu berhenti untuk mengasah hati, demi terawatnya ketajaman perasaan kita. Sesekali kita perlu merasakan sakit. Dan kesedihan, bila kita lalui dengan sabar, akan menjadikan kita orang yang lebih baik.
Ketiga, pensil tak pernah keberatan bila kita menggunakan penghapus untuk menghilangkan gambar atau tulisan yang telah tercipta oleh goresannya. Kita harus siap menerima kritik dari orang lain untuk memperbaiki diri kita jadi lebih baik lagi. Kita bukan manusia yang tahu segala, sehingga apa yang kita yakini belum tentu benar. Maka kita perlu mendengarkan masukan-masukan dari orang lain tentang diri kita, bahkan ketika hal itu tak sejalan dengan apa yang sedang kita kerjakan.
Selanjutnya, coba kau amati pensil yang ada di depanmu sekarang. Apa bagian paling penting dari pensil itu, bagian kayu di luar atau bagian grafit di dalamnya? Maka perhatikanlah selalu apa yang ada di dalam dirimu, sebab itu yang terpenting. Kau boleh saja tampil cantik atau tampan, tapi bila hatimu busuk, tetap saja kau hina di dunia dan kelak jahanam di akhirat.
Memangnya mana pensil yang lebih baik : yang warna cat luarnya indah tapi grafitnya rapuh dan pudar hasil goresannya atau yang warna catnya biasa saja tapi grafitnya kokoh dan tebal goresannya?
Terakhir, pensil punya panjang yang terbatas. Ia bisa digunakan menulis dan menggambar banyak hal, tapi suatu saat ia akan habis. Persis seperti umur kita juga terbatas ーbahkan telah ditentukan saat ruh kita ditiupkan. Dan dalam ketebatasan itu, pensil meninggalkan banyak bekas, entah gambar yang baik atau buruk.Begitu pula kita, manusia. Dalam keterbatasan umur kita sekarang, kita akan meninggalkan bekas. Tinggalkanlah sebanyak mungkin bekas yang baik, yang bisa dikenang orang sambil tersenyum. Jadilah yang yang banyak manfaatnya untuk banyak orang.

Tulisan itu berhasil merasuk kedalam jiwaku. Membuatku merenung, mengoreksi diri, dan memaksaku berpikir seribu kali. Memang, saat ini saya sudah memiliki tujuan hidup. Bahkan saya sudah menyusun banyak rencana untuk mencapai hal tersebut. Tapi, benarkah itu tujuan hidup yang selama ini aku inginkan? Atau hanya sekedar obsesiku saja? Lalu, hal apa yang bisa membuatku meninggalkan banyak bekas yang baik bagi banyak orang?!
...
Berilah petunjuk-Mu.

Rabu, 06 Juli 2016

Pamit




Aku pamit.
Kalimat itu sudah diketik, hampir saja dikirim pada sebuah nomor yang selama ini cukup spesial baginya. Tapi kalimat berisi dua kata itu dihapus lagi. Ia justru mematikan handphonenya. Menyimpan di bawah bantal. Kemudian, ia menangis. Menangis pelan namun deras. Tidak ada artinya kata pamit. Semua berawal tanpa kata, selesai pun tanpa kata, pikirnya. Perempuan itu lalu sejenak terdiam, menatap dinding birunya yang mengusam, membaca lembar demi lembar catatannya yang menuliskan semua perasaannya.

Perempuan sembilan belas tahun itu masih menangis.
Tiga tahun lalu, tanpa kata cinta layaknya sepasang muda-mudi menjalin tali asmara, dua orang ini justru saling menjauh, memilih menghindari perasaan mereka, sampai suatu waktu, tabir-tabir tersingkap dan mereka pun tak mampu menutupi lagi apa yang ada di hati mereka. Tidak ada tali apapun yang mengaitkan hati mereka, sungguh tidak ada. Atau kalaupun ada, mungkin tali itu yang disebut orang-orang bernama perasaan. Perempuan itu, tiga tahun menyimpan perasaannya. Bukan waktu yang lama. Sungguh singkat sebenarnya.

Tidak ada yang tahu, tapi sesosok laki-laki yang ia beri nama “Langit” mengerti dan memahami. Sesosok laki-laki itu membuatnya memiliki harapan. Jauh perjalanan mereka. Harapan-harapan itu menggantung dalam doa. Hingga perempuan itu kini mendapati banyak “Langit” yang juga siap memantulkan warna birunya untuknya. Perempuan itu jengah. Bukan ia berhenti mencintai Langitnya, tapi karena ia mengerti satu hal. BELUM SAATNYA MENCINTAI LANGIT. Sungguh belum saatnya. Dan kali ini, ia benar-benar menghayati kalimat itu.

Aku pamit.

Kalimat itu diketiknya lagi. Tapi satu persatu hurufnya ia hilangkan lagi dengan tombo lbackspace. Perempuan itu akhirnya terdiam. Ia tahu hatinya sungguh lemah. Berkali-kali kata pamit itu terucap, tapi perasaan itu belum juga mau pamit dari tuannya.

Maka ia memutuskan untuk diam, berusaha menjadi tegar. Diam-diam, ia pamit pada perasaan yang pernah ia sebut cinta. Diam-diam, ia pamit pada kata penantian yang pernah memenuhi halaman buku catatannya. Tiba-tiba, ia membiarkan semuanya berjalan sebagaimana mestinya tanpa perasaan menyesal, apalagi takut kehilangan. Diam-diam, ia berhenti mengamati gradasi warna biru yang ditampakkan Langit. Diam-diam, ia menutup semua ceritanya sendirian. Perempuan itu menjadi tegar.

Ia tengah asyik bercerita dengan taman bunganya. Ia tengah asyik bercengkerama dengan bunga-bunganya yang mekar. Ia tengah asyik mensyukuri karunia-Nya. Ia tengah asyik belajar bagaimana caranya menjadi bunga yang mekar dan indah untuk dipetik. Tidak ada yang berubah. Ia memilih pamit. Dan lihatlah, Tuhan menguatkan hatinya.

Mungkin, di suatu waktu, hari, dan tempat yang dirangkai-Nya, ia akan kembali bertemu dengan Langit. Ia harus menatap birunya, bahkan bercengkerama dengan matahari dan bulan bintangnya. Bahkan, mungkin, perempuan itu juga berkesempatan untuk menjelajahi isi Langit. Mungkin. Jika seseorang yang ia sebut Langit itu dia yang membuat ia menangis malam ini, maka memang garis Tuhan menitahkan begitu. Jika bukan, Langit itu pasti tetap biru dan membuatnya bahagia. Karena takdir Tuhan tidak akan pernah tertukar.

Perempuan itu lalu tersenyum di antara bulir-bulir air matanya. Sungguh, ia tidak tahu apa yang ada di dalam hati seseorang yang ia sebut Langit itu. Mungkin, ia masih menyimpan harapan. Mungkin, di dalam hati perempuan itu juga. Aku juga tidak tahu isi hatinya. Aku hanya seonggok buku yang pernah ditulis oleh perempuan itu. Aku pernah tahu tentang semua isi hatinya. Ah, tapi perempuan itu sekarang benar-benar merahasiakan tentang perasaannya. Yang aku tahu, penanya selalu mengatakan, “dia yang mengatakan pada yang membuatku ada, yang akan mendapatkan jawabannya.”
Kalau takdir sudah berkehendak, maka tidak ada apapun yang bisa memisahkan. Melalui pena ini, kukembalikan hati yang pernah kujaga. Kukembalikan nama yang bertahun membuatku tersenyum juga menangis. Kukembalikan kisah pada keindahan skenario-Nya. Aku ingin berbahagia di taman bungaku. Dan kamu, berbahagialah di hamparan luasmu. Bawa cahayamu jika benar kau ingin jadikanku bulan di malammu. Lakukan saja, jangan janjikan. Toh, takdir Tuhan, tidak akan pernah tertukar.

Tanpa sepatah kata pun, perempuan itu pamit. Ia pamit pada hatinya sendiri.
Tidak ada yang perlu disesali dari sebuah perasaan yang menyesakkan, karena fitrahnya manusia mengalami itu. Tapi membiarkan rasa sesak berlarut dalam penantian juga tidak baik. Lebih baik menyibukkan diri belajar, menyibukkan diri memperbaiki kualitas hati dan diri, meyibukkan diri bercerita bersama taman-taman bunga. Perempuan itu, mungkin nanti juga akan jatuh lagi. Mungkin ia akan menangis lagi. Tapi, semoga tulisan ini membuatnya ingat, bahwa takdir-Nya tidak akan pernah tertukar. Semoga tulisan ini membuatnya tegar. Semoga membuat tegar pula perempuan-perempuan lain yang tengah jengah oleh rasa sakit, rindu, galau, dan perasaan lain karena “Langit” mereka.

Kuawali cerita ini dari sebuah “selesai”. Bismillah..

- Ahimsa Azaleav



Surat


Jakarta, 2 Juli 2016
Sore itu pasien sudah mulai sepi. Suara dering telepon juga mulai berkurang. Itu artinya pekerjaan saya sudah mulai bisa 'disambi', disambi membaca. Pepatah mengatakan : buku adalah jendela dunia. Dengan membaca buku, kita bisa mengenal dunia. Namun di jaman yang modern seperti sekarang, fungsi buku bisa jadi tergantikan oleh internet. Ya, bagiku internet adalah jendela dunia tanpa batas.
Karena akhir-akhir ini saya sedang menyukai dunia kepenulisan, terutama yang mengandung unsur sastra, maka dengan sengaja saya menulis : Ephemera – Ahimsa Azaleav di kotak mesin pencari Google. Maksud hati ingin pre-order (PO) buku tersebut untuk bekal bahan baca saat libur lebaran nanti, tapi ternyata bukunya belum bisa di PO. Sabar.
Tak ada rotan akar pun jadi. Belum bisa memaca bukunya secara langsung, saya masih bisa membaca quote-quotenya di Google. Hehe.. Setelah beberapa kali berganti halaman, tiba-tiba mataku tertahan pada sebuah tulisan. Ini bukan kutipan buku Ephemera, melainkan Hujan Matahari – Kurniawan Gunadi. Isi kutipannya tidak asing. Ah, sepertinya saya pernah mengalami situasi seperti ini. Saya membacanya berulang-ulang dengan penuh penghayatan. Tulisan alumni ITB ini benar-benar mewakili hati kaum hawa, lebih khususnya saya pada saat ini. Terimakasih, Kurniawan Gunadi.
Surat
Bahwa menjaga diri adalah hal yang paling sering alfa dari setiap kesempatan.
Beberapa waktu yang lalu, ada sebuah email dari negeri nun jauh disana, seorang sahabat lawas yang tinggal di belahan bumi yang berbeda. Sebuah email padat yang memaksa saya duduk berlama-lama didepan komputer dan membacanya seribu kali.
Kamu terlalu baik kepada banyak lawan jenismu, kepada banyak perempuan. Membuat mereka terlalu nyaman di dekatmu dan membuat mereka merasa tentram untuk membuka cerita kepadamu.
Aku hanya sekedar mengingatkan, bahwa berhati-hatilah. Kamu menumbuhkan apa yang tidak mereka tanam. Perasaan tentram dan nyaman itu lebih berbahaya dari perasaan cinta. Kau perlu tahu itu teman.
Bahwa aku mengenalmu sejak kecil adalah hal yang membuatku paham padamu. Kau sudah merusak masa depan dirimu dan banyak perempuan, bahwa mereka kemudian memiliki perasaan masa lalu yang bisa saja tumbuh ketika kamu sudah bersanding dengan orang lain.
Kau paham sesuatu ?
Aku katakan sekali lagi, jangan terlalu baik kepada banyak perempuan. Sikapmu itu seperti bom waktu, tinggal menunggu kapan meledaknya, jagalah dirimu lebih baik.
Kau tidak perlu terlalu dekat kepada mereka semua jika sekedar ingin menjadi laki-laki yang baik, bukan begitu ?
Aku kehabisan kata …